IKUT LOMBA CERPEN NASIONAL

BATU ANGKASA
      “Kakek, Besok adalah hari terakhir aku disini, jadi kemana kita akan pergi besok?” tanyaku kepada sang kakek yang tengah mengunyah tempe mendoan buatan nenekku sembari menikmati dinginnya malam.
     “Kita akan pergi ke batu angkasa” jawab kakeku dengan tersenyum.
     “Batu angkasa? Apa itu kek? Apakah sebuah batu yang datang dari luar angkasa? Seperti komet?” tanyaku lagi.
     “Bukan seperti komet. Tetapi batu yang seperti angkasa, memiliki bintang yang bersinar dengan megah. Kamu bisa lihat besok sore menjelang malam. Sabar ya Niko” jawab kakekku sambil menepuk pundakku.

        Aku penasaran sekali dengan apa yang barusan dikatakan kakekku. Aku yang masih berumur 6 tahun pada saat itu ikut mengambil tempe mendoan yang melegenda tersebut. Bagaimana bisa batu bersinar seperti bintang? Memiliki cahaya tersendiri seperti matahari. Apakah benar ada batu seperti itu?
      Tak terasa matahari telah memanggilku untuk pergi keluar dari kamar dan bertemu dengan batu angkasa. Sambil mengucek mata, aku pergi keluar dari tempat persembunyianku itu. Ketika di ruang tengah, aku melihat kakek tiduran diatas karpet sambil memegang dadanya dikelilingi dengan ayah, bunda, tante Dian, juga kakakku, Mina. Aku tak mengerti mengapa kakek bernafas seperti ia sehabis berlari dikejar anjing. Orang tuaku dan saudaraku yang lain langsung menggotong kakekku keluar rumah dan membawanya pergi dengan mobil. Selang beberapa waktu, aku dikabarkan bahwa kakek telah tiada.
      Isak tangis sudah tidak bisa ditahan lagi oleh tante Dian. Pakaian hitam yang ia pakai basah karena air matanya yang jatuh. Orang tuaku memelukku sambil menangis melihat kakek yang dibaluti kain kafan. Tak terasa sudah dua minggu kakek meninggalkan aku dan keluarga. Aku yang tadinya berlibur di tempat kakeku di JawaTengah kini telah kembali ke Jakarta.
     Sambil memandang indahnya langit malam, aku mengingat kembali kenangan waktu dulu ketika aku diajak pergi ke sawah. Tempat yang kakek bilang adalah rumput berisi. Aku juga pernah diajak kakek ke sebuah curug yang ia sebutkan sebelumnya adalah air mata batu. Kakekku memang senang sekali membuat tebak – tebakan ketika ingin berkunjung ke suatu tempat. Hingga kemudian aku mengingat bahwa kakek ingin mengajakku ke batu angkasa. Kakek bilang batu angkasa itu berlokasi di dekat rumahnya di Jawa Tengah. Aku pun bertanya kepada orang tuaku apakah ada yang namanya batu angkasa di sana. Mereka bilang tidak ada namanya batu angkasa. Bahkan yang mereka kira batu angkasa yang aku maksudkan adalah meteor.
     Berbulan bulan telah kulalui dan masih belum terungkap juga dimana batu angkasa berada. Aku bahkan berpikir bahwa batu angkasa yang ia maksud adalah batu akik yang bisa menyala dalam gelap. Tetapi kakek tidak pernah suka memiliki batu akik. Menurutnya, batu akik sudah terlalu pasaran. Walau bisa saja, tetapi tidak mungkin bagiku. Bertahun tahun telah kulewati tanpa sang kakek.
     Hingga aku menginjak umur 17 tahun,aku yang sudah cukup dewasa masih teringat akan batu angkasa. Bahkan aku mulai berfikir kalau kakek hanya mengada-ngada tentang batu angkasa itu. Seakan-akan aku dibayangi dengan pertanyaan yang mungkin tidak pernah terjawab olehku. Namun hal itu berubah.
     "Ah, ke candi, buat apa cuman seperti itu saja isinya kok, mending kita nongkrong aja di kafe atau semacamnya" jawab Gara sembari menghadap ke arah jendela kereta. Melihat si rumput berisi.
     "Bagaimana pun juga, kita ini mau liburan Gar. Kalau kita nongkrong di kafe seperti itu di Jakarta juga ada atuh. Buat apa ke sini kita" ucap Daffa.
     "Kita juga orang Indonesia Gar, harus lestarikan budaya kita. Besok pagi kita ke Candi Borobudur saja ya kawan" ucap Tyo sambil memegang pundak temannya itu.
     "Sehabis itu kita ke curug atau ke goa saja, sepertinya asik" saran Deni.
     "Wah setuju sekali aku" ucap Daffa. Selama beberapa hari, aku dan teman –temanku akhirnya liburan di rumah Tante Dian. Pergi ke curug, pantai, hingga goa. Sayang sekali pada hari pertama liburan kami tidak bisa pergi kemana-mana dikarenakan hujan yang turun dengan amat deras. Tak ada hal yang lebih aman dibandingkan berada di dalam rumah.
     “Kita masih punya satu hari lagi untuk dihabiskan. Kenapa tidak kita gunakan saja dengan berenang?”
     “Apakah kau gila?suhu disini bisa dingin sekali dan usulmu adalah berenang?”
     “Kurasa itu tidak apa-apa bila kita menggunakan air panas?”
     “Tentu saja, kemudian setengah badanmu yang di atas air membeku karena dingin, bukan begitu?”
   “Aku rasa kita bisa pergi ke candi borobudur lagi, ingat kemarin kita idak jadi kesana karena hujan?”
      “ide yang bagus”
     Aku pun berangkat ke Candi Borobudur menggunakan mobil Tante Dian bersama teman –temanku. Awalnya kita ingin berangkat pagi – pagi ketika matahari memberi semangat baru kepada kami sayangnya pagi hari mobil tante Dian dipakai untuk pergi arisan. Akhirnya kami berangkat pada sore hari menjelang sang bulan datang.
     Sesampainya disana kami membayar tiket masuk dan mulai menapakki jalan menuju Candi Borobudur. Langit sudah gelap dan suara jangkrik mulai terdengar dengan cukup keras. Walaupun begitu, kami tetap melanjutkan perjalanan. Aku tidak pernah sebelumnya pergi ke sebuah candi malam – malam. Terakhir kali aku pergi kesana, matahari masih menyinari tubuhku. Tak hanya itu, aku melihat di internet bahwa Candi Borobudur buka pada malam hari. Oleh karena itu, kami yang awalnya tidak jadi pergi ke Candi Borobudur cukup penasaran akan indahnya hasil jerih payah bumi pertiwi kami.
     Awalnya semua gelap. Lampu taman sekitar hanyalah hal yang menerangi Candi Borobudur sesampai kami disana. Tak lama kemudian banyak orang-orang membawa lampion berwara oranye dan menyalakannya. Seketika pemandangan Candi Borobudur yang gelap jadi terang dan sangat indah. Benar – benar memanjakan mata. Lampion kala itu seperti bintang yang memenuhi angkasa. Cantik dan menawan. Tak ada bandingannya. Relief yang menghiasi dinding candi yang terbuat dari batu tersebut terkena sinar membuatnya jadi lebih semakin menarik. Langsung saja aku dan teman-temanku mengabadikan peristiwa ini dengan kamera yang dibawa Tyo. Kami memotret foto berkali-kali. “Candi Borobudur, menawannya batu ini” ucap Deni. Seketika aku langsung berpikir bahwa candi tersebut terbuat dari batu. Relief yang di pahat juga terbuat dari batu. Walaupun gelap tetapi suasana disini juga seperti layaknya sebuah tempat yang kejatuhan bintang – bintang nan cantik. Apakah ini yang kakek maksudkan dari batu angkasa? Candi yang terbuat dari batu dan indahnya lampion yang menghiasi candi bagaikan bintang di angkasa. Atau mungkin lampion yang menghiasi candi bagaikan meteor yang jatuh dari angkasa? Aku tertawa kecil. Kakekku memang selalu hebat dalam membuat tebaktebakan akan alam Indonesia. Satu hal yang membuatku ingat dengan kakek, nilai artistik yang ia punya. Sama seperti Indonesia, sangat menawan dan memberikan kebahagiaan tersendiri. Tak akan ada yang bisa menggantikan keindahannya. Selama aku masih bisa menghirup udara di sekitarku, aku akan selalu menjaga keunikan yang ia punya. “Kawan, kau ikut atau tidak?” ajak Niko karena bulan yang sudah mulai lama menampakkan dirinya menandakan bahwa kami harus kembali ke rumah Tante Dian. Ia membuyarkan lamunanku. Tentu saja, bagaimana tidak? bangunan kokoh yang berada di depanku ini sungguh membuatku terpana. Mereka menuangkan kenangan melalui batu. Bukan batu biasa, tetapi batu yang menggambarkan sejuta makna. Digambar dan di pahat sedemikia rupa agar dapat memberikan kesan tersendiri untuk anaknya kelak. Tak ingin aku menapakan kaki dan keluar dari batu angkasa kepunyaan Indonesiaku ini.

Komentar

Postingan Populer